Minggu, 17 Juli 2016

NYANYIAN KABUT
“Ayo, katakan kepada Shinta Deni, aku senang sama dia. Senang sekali!” Ben
mengepalkan tangan. Lantas diacungkannya kepada Mia, gadis manis keturunan Bugis.
“Sungguh mati, aku mencintai Shinta,” kata Ben lagi. bola matanya tajam-tajam
menatap kearah Mia, membuat gadis itu menjadi jengah.
“Ayo, katakana saja. Sama sekali aku tidak takut!”
Bibir Mia merekah separuh basah. Pipi kiri dan kanannya memerah bak buah
delima. Segar, dan harum baunya. Sementara bola mata Mia yang redup itu bertengger di
antara batang hidungnya yang mancung.
“Sungguh, ini sama sekali bukan omong palsu,” sergah Ben lagi terus nyerocos.
Mia, sebaliknya masih tetap diam.
“Nah, sekarang bagaimana komentarmu Mia?” tanya Ben agak penasaran
menyaksikan sikap Mia yang kaku.
“Pendapat saya?” ujar Mia perlahan.
“Ya, pendapatmu tentu saja,” sahut Ben seraya mengangguk-angguk begitu rupa.
“Ya, aku ingin sekali mendengar pendapat yang keluar dari mulutmu yang mungil itu.”
Ujung rambut Ben terjatuh diatas keningnya. Mia tak berkata apa-apa kecuali
membungkam seperti tadi.
“Ayo Mia, bagaimana komentarmu?” desak Ben lagi.
“Apa yang mesti saya katakana?” giliran Mia balik bertanya. Dahinya berkerinyit.
Tapi dia tambah kemayu dalam keadaan begitu. Dari cuping hidungnya yang bangir itu
kentara sekali Mia sedang gugup dan risi.
Ben tertawa setengah terbahak bahak. Katanya, “Lucu sekali sikapmu Mia.” Dada
Ben berguncang.
“Bagaimana Mia?” tanya Ben lagi mulai membuka suara. Tapi Mia sekarang
gantian menatap Ben. Yang ditatap pelan-pelan tersenyum, membuat Mia jadi kikuk,
lantas mencoba melemparkan pandangannya ke tempat lain. Dan Ben tahu, kalau begitu
artinya Mia merasa risi. Mia malu dan tersipu-sipu.
“Kamu tidak bisa ngomong ya, Mia?” tanya Ben lagi memancing.
Mia tak bereaksi. Tapi habis itu keluar juga suara dari bibirnya yang mungil.
“Saya kira, saya kira itu urusan kamu sendiri,Ben. Saya tidak bisa memberikan pendapat
apa-apa, sungguh Ben …” Mia menunduk, tak berani beradu pandang dengan Ben.
“Tapi kamu toh teman baiknya Shinta?” tanya Ben lagi seraya tertawa-tawa…”
“Jadi …”
Mia terdiam. Ia mengangkat wajahnya sedikit. Fuih, kenapa pula begitu susah
berbicara dengan Ben? Mia mendongkol. Ia membayangkan dirinya bagai seorang gadis
kecil yang tersesat di sebuah padang rimba, tak tahu kemana arah dan tujuan.
Ben menatap Mia. “Tapi kau maukan membantuku Mia?” tanya Ben lagi. Mia
mengangguk perlahan. ”Nah, katakan saja kepada Shinta bahwa aku, Ben, sangat
menyenangi dia. Ya, aku amat mencintai Shinta dengan sunguh-sunguh.”
Ben menghela nafas dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. “Mau kan Mia?”
ulang Ben menekan. Mia mengangguk perlahan.
“Oke, oke, terima kasih sebelumnya.”
www.rajaebookgratis.com
Ben menepuk pundak Mia sekali. Mia tersenyum kecil setengah terpaksa. Habis
itu Mia tidak berani lagi berbicara banyak tentang Shinta. Rasanya menyesal betul dia
telah mengenal Shinta. Buktinya sekarang, Mia jadi dapat beban yang cukup berat. Ia
harus mengatakan kepada Shinta, bahwa Ben sangat menyenanginya. Mencintai Shinta
setengah mati.
***
Ben masih menahan kantuknya ketika Mia datang mengetuk pintu kamarnya. Ben
menyeringai. Kenapa pula harus bertamu sepagi ini, gerutu Ben dalam hati. Tapi toh Ben
beranjak juga dari atas ranjang. Sesaat kemudian pintu terbuka, Mia berdiri di
hadapannya.
“Ada kabar penting rupanya?” tanya Ben tanpa basa-basi, langsung ke pokok
persoalan. Mia masih berdiri di balik pintu. Ben tersadar. “Oh ya, masuklah. Duduklah!”
“Maafkan saya, Ben. Maafkan saya telah mengganggu kamu.” Seperti waktu
yang sudah-sudah, sulit sekali Mia beradu pandang dengan Ben.
“Oke, oke, lantas bagaimana?” tanya Ben.
“Saya sudah bertemu dengan Shinta.”
“Oh ya?”
“Dan saya sudah mengatakannya kepada Shinta.”
“Mengatakan bagaimana Mia?” tanya Ben merasa penasaran. Ditatapnya wajah
Mia tajam-tajam, sementara yang ditatap jadi tak enak hati
“Ya, saya sudah mengatakan apa yang kamu bilang, Ben. Saya katakan pada
Shinta bahwa kamu menyenangi dia. Tapi Shinta diam saja. Malahan, ia cuma tertawa
dan balik bertanya, sejak kapan kamu menyenanginya.”
Mia sesaat terdiam. Ia menunggu reaksi Ben lebih lanjut. “Ya, teruskan Mia!”
ujar Ben.
“Shinta heran. Kenapa kamu tidak mengatakan langsung? Kenapa harus melewati
saya?”
“Lalu, dia bilang apa lagi Mia?”
“Ya, dia bilang kalau kamu cowok yang sportif pasti kamu akan mengatakannya
sendiri. Tak perlu lewat saya segala.”
Mia menghentikan pembicaraannya dan terdiam sesaat. Ben mengangguk-angguk
dua tiga kali. Ben menggaruk kepalanya. Katanya, “Menurutmu Mia, bagaimana reaksi
Shinta begitu mendengar ceritamu? Apakah ia senang atau tidak mendengarnya?”
“Maksud kamu Ben?” gantian Mia yang bertanya. Dahinya berkerenyit mencoba
memahami ucapan Ben.
“Kira-kira, apakah Shinta bisa menerimaku?” tanya ben lebih menekan. Mia
menggeleng.” Saya … saya tidak tahu Ben … “
“Tapi kan kamu bisa melihat sepintas bagaimana kesan Shinta sewaktu
mendengarkan ceritamu. Bukankah wanita memiliki perasaan yang lebih halus?”
“Ya, Ben. Tapi saya tidak menyelidiki sejauh itu. Shinta Cuma mengatakan
singkat: coba saja Ben yang mengatakannya sendiri kepadaku. Kalau Ben memang
sungguh-sungguh senang sama aku, ia pasti berani mengucapkannya di hadapanku,” kata
Mia menirukan ucapan Shinta.
“Begitu dia bilang?”
www.rajaebookgratis.com
Mia mengangguk. Ben terdiam. ”Ya, ya, memang betul sih apa yang dia bilang.
Cuma masalahnya sekarang, aku kan tidak mau bertepuk sebelah tangan. Jika Shinta oke,
baru aku pun oke. Artinya, jika Shinta juga punya minat padaku, baru aku akan
mengatakannya langsung.”
“Kok begitu?” tanya Mia terheran-heran. Ben tertawa kecil. Katanya lagi, “Aku
tak ingin sia-sia setiap kali melangkah. Itu prinsipku, Mia.”
Tak berapa lama, Ben mengambil secarik kertas. Dibuatnya sebuah surat pendek
untuk Shinta, lantas disodorkannya kepada Mia.
“Nah, sekarang coba kasih surat ini kepada Shinta. Moga-moga saja ia mau
mengerti, kenapa aku emoh mengatakannya sendiri,” tukas Ben.
Mia menerima sepucuk surat warna putih bergaris. Ada tulisan tangan Ben,
pendek sekali. Dan isinya? Fuih, kenapa pula aku ingin tahu, ujar Mia dalam hati. Surat
itu dipegangnya. Habis itu dia pamitan pada Ben.
“Thanks ya Mia. Aku tak melupakan jasamu,” kata Ben lagi seraya tersenyum.
***
Seperti hari-hari kemarin. Mia pergi lagi kepada Shinta. Meskipun pekerjaan ini
tak seberapa sulit, tapi sungguh mati Mia menjadi merasa tersiksa sendiri. Ben selalu
memaksakan kehendaknya. Sedang buat aku, apa sih untungnya?
Dan Mia pun tertegun-tegun manakala berhadapan dengan Shinta. Dengan polos,
diceritakannya perihal Ben. Disodorkannya surat Ben kepada gadis itu, membuat Shinta
jadi tertawa terbahak-bahak.
“Kocak sekali. Apa-apaan kamu dipecundangi Ben?” ujar Shinta membuat wajah
Mia jadi merah padam.
“Tapi aku terlanjur Shin …”
“Apa dia bilang?”
Shinta membuka surat pendek itu, lantas membacanya. Habis itu bibirnya
mengembang. Katanya lagi, “surat ini aku kembalikan. Bilang pada Ben, aku tak mau
menerimanya.”
“Tapi Shin, tapi …”
“Sudahlah, katakana saja terus terang pada Ben, aku tidak senang sama dia. Aku
menolak dia, dan yang terang aku tak mau membalas cintanya.”
“Takut kepada Ben, ya?” tanya Shinta.
“Bukan takut, aku cuma kasihan, kasihan …”
Shinta tertawa lagi lebih keras. Lucu, melihat sikap Mia yang polos itu. Tapi Mia
sendiri? Fuih, ia Cuma berpikir keras bagaimana nanti jika Ben tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Bagaimana kalau Ben tahu bahwa cintanya ditolak mentah-mentah oleh Shinta?
Padahal Mia yakin, Ben seratus persen mencintai Shinta.
Ahai, Mia jadi merenung sendiri. Raut wajah Ben melintas di benaknya.
***
www.rajaebookgratis.com
Ben berdiri tegak di hadapan mia. Siang terasa panas di kantin sekolah. Tapi bagi
Ben, panas itu sungguh tak terasa manakala di tangannya tergenggam sepucuk surat dari
Shinta.
Ben tersenyum, cerah sekali. Mia mencoba melihat raut wajah Ben yang bahagia,
dan perlahan ia pun ikut merasakan kebahagian itu.
“Jadi betulkan yang aku bilang? Shinta pun ternyata menyenangiku? Ini memang
sudah kuduga Mia,” kata Ben. Pandangannya lurus ke depan, lantas dia berpaling lagi
kearah Mia.
“Terus Shinta bilang apa lagi padamu, Mia?”
“Ya, Shinta bilang ia juga simpati pada kamu, Ben. Shinta senang sama kamu.”
Sesaat kemudian Ben menyodorkan surat Shinta kepada Mia. “Nah, bacalah
suratnya,” kata Ben lagi, membuat Mia jadi salah tingkah. Hatinya gundah ketika
menyaksikan sederetan tulisan tangan surat itu. Mia membacanya dalam hati. Makin
dibaca, makin berguncang dadanya.
Ben sayang,
Seperti langit membutuhkan bumi, seperti bumi membutuhkan matahari, begitu
juga kita. Terus terang aku pun menyenangi kau Ben …
Fuih, ingin rasanya Mia menangis, entah sandiwara macam apa pula yang kubuat,
pikirnya. Mia tercenung. Ben tahu itu. Lantas ia bilang, “Kenapa kau Mia? Apakah tak
ikut senang membaca surat itu?”
Mia manggut-manggut. Gugup. “Ya,ya, saya senang kok Ben, saya senang sekali.
Ben kemudian tertawa-tawa. Mia terdiam.
***
Adegan selanjutnya memang sulit dibayangkan. Setidak-tidaknya bagi Mia. Di
benaknya terbayang ketika Ben bertemu dengan Shinta, ketika Ben tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Dan ketika Ben tahu persis betapa sebenarnya Shinta tak menyenangi
dirinya, lantas apa yang bakal terjadi?
Duh, Mia jadi gelisah sendiri. Dibayangkannya Ben kemudian menjadi marah dan
ngamuk-ngamuk, merasa telah dibohongi Mia. Dan tahu sendiri, Ben pastilah memakimaki
dengan kasar atas permainan Mia yang tak lucu ini.
Dan degup jantung Mia pun semakin berdebar kencang. Ia tak bakal sanggup lagi
bertemu dengan Ben. Toh, Ben sudah dipermainkannya begitu rupa. Dengan menulis
surat itu atas nama Shinta …
Mia tak bisa berpikir apa-apa lagi. dan ketika Ben tiba-tiba muncul dipintu
rumahnya, wajah Mia menjadi merah padam. Dia merasa gugup, gelisah sekaligus
dihantui perasaan bersalah.
“Sudah ketemu Shinta?” tanya Mia gugup memandangi wajah Ben yang tak
berubah, masih cerah dengan senyumnya yang dikulum itu.
www.rajaebookgratis.com
Ben mengangguk. “Aku sudah bertemu dengan Shinta,” sahut Ben seraya
memandangi wajah Mia begitu rupa.
“Jadi …?” tanya Mia lagi penasaran.
“Ya, tak ada apa-apa.”
Ben tersenyum kecil. Dihampirinya Mia, lantas berdiri berhadap-hadapan
denannya. Mia, tentu saja menjadi tambah gelisah. Dari balik bola matanya itu, kentara
sekali Mia merasa bersalah.
“Saya bersalah Ben, maafkan saya, maafkan …,” kata Mia terbata-bata. Tiba-tiba
saja bola matanya terasa panas. Sementara Ben masih tetap bersikap biasa biasa saja.
“Apa yang perlu aku maafkan Mia? Malah sebaliknya aku kagum atas permainan
ini. Atas permainanmu yang begitu besar padaku,” kata Ben lagi sambil tersenyum.
“Maksud kamu Ben?” Mia balik bertanya.
Ben perlahan-lahan memegangi lengan Mia. Katanya, “Sejak semula aku tahu kau
telah berbohong. Kau bilang Shinta tertarik padaku. Lantas ketika Shinta bilang ia
menolakku, aku pun tahu kau telah berbohong untuk kesekian kalinya. Kau malah
memalsukan surat Shinta untuk menyenangkan hatiku.” Ben terdiam. Ia menarik nafas
lega.
“Padahal aku dan Shinta telah lama saling kenal dan bersahabat,” sambungnya
kemudian.
“Jadi apa maksudnya ini?” tanya Mia tak mengerti. Ben manggut-manggut.
“Aku sudah tahu kenapa kau mau melakukan ini, membuat kebohongan ini,” ujar
Ben.
“Jadi… jadi …,” Mia menjadi bertambah gugup. Tapi Ben tenang-tenang dan
malah mengusap air mata Mia yang sudah mulai tergulir di kedua pipinya. Untuk itulah
ia datang menyingkap tabir kebohongan Mia. Kebohongan yang punya arti lain.
Bukankah begitu?
www.rajaebookgratis.com
kembali seperti semula, perlu semngat untuk selalu memulai hidup yaa, karena hari ini Allah masih menitipkan nafas.